https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/issue/feedJurnal Hukum Responsif2020-01-07T11:09:18+00:00Merry Agnesejournal@pancabudi.ac.idOpen Journal Systems<p>Jurnal Hukum Responsif diterbitkan enam bulan sekali oleh Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi Medan sebagai media komunikasi ilmiah yang menyajikan kajian-kajian hukum dalam rangka mengantisipasi perkembangan sosial dan budaya.</p>https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/728KAJIAN HUKUM DALAM PENERAPAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENCUCIAN UANG DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA2019-12-31T09:47:25+00:00Ismaidar suheri@pancabudi.ac.id<p><span class="fontstyle0">Kejahatan kerah putih sudah berkembang pada taraf trans- nasional yang tidak lagi mengenal batas – batas teritorial negara. Bentuk kejahatanya pun semakin canggih dan terorganisir secara rapih, sehingga sulit untuk dideteksi. Pelaku kejahatan selalu berusaha menyelamatkan uang hasil kejahatan melalui berbagai<br>cara, salah satunya dengan melakukan pencucian uang (Money loundering). Untuk dapat menerapkan hukum Tindak Pidana Pencucian Uang, diperlukan adanya suatu pembuktian tentang kebenaran bahwa telah terjadi suatu perbuatan pencucian uang, sehingga terdapat hal-hal yang perlu diketahui sebelum<br>melaksanakan pembuktian yaitu konsep dasar pencucian uang, modus-modus pencucian uang, metode pembuktian tidak langsung. Tindak pidana pencucian uang berdasarkan Undang Undang No.15 Tahun 2002 telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang<br>Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Hukum Acara yang terdapat dalam Undang Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No.25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang Undang No.15 Tahun 2002 tentang<br>Tindak Pidana Pencucian Uang. Kendala-kendala yang timbul dalam penyidikan tindak pidana pencucian uang dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu kendala yang bersifat yuridis dan non yuridis. Kendala yang bersifat yuridis yaitu, adanya ketentuan tentang rahasia bank, kewajiban penyidik melindungi pelapor dan<br>saksi, persepsi penyidik terhadap tindak pidana pencucian uang belum sempurna, dan informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tidak lengkap. Sedangkan kendala yang bersifat non yuridis yaitu, pelapor belum tentu korban, dan kemampuan sumber daya manusia penyidik yang terbatas.</span> </p>2019-12-31T09:47:25+00:00##submission.copyrightStatement##https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/729KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA2019-12-31T09:49:55+00:00Syaiful Asmi Hasibuan suheri@pancabudi.ac.id<p><span class="fontstyle0">Timbulnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak bukan hanya merupakan gangguan terhadap ketertiban masyarakat semata, akan tetapi juga merupakan bahaya yang dapat mengancam masa depan suatu bangsa dan negara. Atas dasar ini, anak perlu dilindungi dari perbuatan-perbuatan yang merugikan, agar anak sebagai dasar penerus bangsa tetap terpelihara demi masa depan bangsa dan negara Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pegambilan dan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan dengan mencari konsep-konsep, teori-teori atau pendapat-pendapat mengenai kebijakan criminal bagi anak pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Untuk dapat memberikan penilaian terhadap penelitian ini maka dimamfaatkan data yang terkumpul. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Kebijakan criminal terhadap anak yang melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga harus memperhatikan kebijakan penal yang meliputi perlindungan terhadap pelaku pada proses penegakan hukum yang dilakukan dalam sistem peradilan pidana berupa pemidanaan dan tindakan. Di samping itu harus juga memperhatikan kebijakan non penal yang meliputi memperbaiki kondisi-kondisi sosial anak dalam arti perlindungan yang mengharmonisasikan antara pelaku dan korban yang bersifat non yuridis.</span> </p>2019-12-31T09:49:55+00:00##submission.copyrightStatement##https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/730HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN ANAK BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANGNNOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DI BELAWAN2019-12-31T09:51:59+00:00Lidya Rahmadani Hasibuan suheri@pancabudi.ac.id<p><span class="fontstyle0">Restitusi diartikan sebagai pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Untuk itu pelaku diharuskan membayar restitusi kepada Anak korban tindak pidana untuk mengganti kerugian yang diderita korban sebagai bentuk tanggungjawab pelaku atas perbuatannya yang menimbulkan kerugian terhadap korban, keluarga atau ahli warisnya, sebagai pelaksanaan Pasal 71 D Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. </span><span class="fontstyle0">Salah satu bentuk ganti rugi terhadap korban tindak pidana yakni restitusi. Restitusi sesuai dengan Prinsip Pemulihan dalam Keadaan Semula (restutio in integrum) adalah suatu upaya bahwa korban kejahatan haruslah dikembalikan pada kondisi semula sebelum kejahatan terjadi meski didasari bahwa tidak akan mungkin korban kembali pada kondisi semula. Prinsip ini<br>menegaskanbahwa bentuk pemulihan kepada korban haruslah selengkap mungkin dan mencakup berbagai aspekyang ditimbulkan dari akibat kejahatan. Dengan restitusi, maka korban dapat dipulihkan kebebasan, hak-hak hukum, status sosial, kehidupan keluarga dan kewarganegaraan, kembali ke tempat tinggalnya, pemulihan pekerjaannya, serta dipulihkan asetnya. Lokasi Penelitian yang akan dilakukan adalah pada Polsek Belawan, LPSK Medan dan Kelurahan Bagan Deli Belawan.</span> </p>2019-12-31T09:51:59+00:00##submission.copyrightStatement##https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/731PENINGKATAN PERAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA: SEBUAH PARADIGMA BARU PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK2019-12-31T09:54:57+00:00Doni Muhammad Dahlan suheri@pancabudi.ac.id<p><span class="fontstyle0">Eksistensi partai politik di Indonesia sejatinya merupakan cerminan dari alinea pada Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan yang menjadi hak asasi manusia dan diakui serta dijamin oleh negara. Sejarah membuktikan bahwa peran partai politik berpengaruh besar pada perkembangan demokrasi, termasuk di negara ini. Wajar saja hal ini terjadi karena partai politik merupakan wadah bagi rakyat yang ingin berkecimpung dalam pentas politik sekaligus menjadi gambaran peran rakyat dalam percaturan politik nasional. Seiring berubahnya zaman, kedudukan partai politik pun turut mengalami pasang surut, mulai dari pengurangan jumlah partai, fusi (penggabungan) hingga penambahan jumlah partai yang banyak. Di sisi lain, kedudukan partai politik yang turut serta dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia tampaknya tidak dapat dipungkiri, mengingat dari waktu ke waktu, partai pemenang pemilu hampir mengakomodir negara melalui lembaga negara yang eksis di Indonesia. Hal ini sering memicu konflik pada setiap elemen negara sehingga menjadi biang perpecahan pada bangsa. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik dianggap belum cakap dan efektif dalam rangka penguatan demokrasi di Indonesia sehingga peran partai politik dipandang masih terlalu condong pada kepentingan partai semata. Tentu dalam hal ini dibutuhkan satu regulasi penting dalam mengoptimalkan peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjawab atas segala tuntutan dalam mewujudkan organisasi yang bersifat nasional dan menyatukan dalam kemajemukan.</span> </p>2019-12-31T09:54:57+00:00##submission.copyrightStatement##https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/732MEMBANGUN KONSEP IDEAL PENERAPAN ASAS IKTIKAD BAIK DALAM HUKUM PERJANJIAN2019-12-31T09:57:22+00:00Andoko suheri@pancabudi.ac.id<p><span class="fontstyle0">Pengaturan itikad baik sebaiknya dirumuskan sebagai “sikap atau perilaku berpegang teguh pada perjanjian untuk memberikan kepada lawan janji apa yang menjadi haknya dan tidak mencari-cari celah untuk melepaskan diri dari apa yang telah diperjanjikan berdasarkan kepatutan dan kerasionalan. Standar yang<br>digunakan dalam itikad baik objektif adalah standar yang objektif yang mengacu kepada suatu norma yang objektif. Perilaku para pihak dalam perjanjian harus diuji atas dasar norma-norma objektif yang tidak tertulis yang berkembang di dalam masyarakat. Norma tersebut dikatakan objektif karena tingkah laku didasarkan pada anggapan para pihak sendiri, tetapi tingkah laku tersebut harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad baik tersebut. Dalam fungsi itikad baik yang ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan. Beberapa para pakar hukum sebelum perang berpendapat bahwa itikad baik juga memiliki fungsi ini. Mereka mengajarkan bahwa suatu perjanjian tertentu atau suatu ketentuan undang-undang mengenai kontrak itu dapat dikesampingkan, jika sejak dibuatnya kontrak itu keadaan telah berubah, sehingga pelaksanaan kontrak itu menimbulkan ketidakadilan. Dalam keadaan yang demikian itu, kewajiban kontraktual dapat dibatasi, bahkan ditiadakan seluruhnya atas dasar itikad baik. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu ketentuan peraturan perundang-undangan harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang tercantum di dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Metode yuridis normatif ini<br>mengacu kepada penelitian yang mengarah kepada dasar filosofis kontrak, khususnya berkaitan dengan landasan filosofis keberadaan doktrin itikad baik.</span> </p>2019-12-31T09:57:22+00:00##submission.copyrightStatement##https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/733PELAKSANAAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 DI INDONESIA SAAT INI2019-12-31T09:59:43+00:00Isnawati suheri@pancabudi.ac.id<p><span class="fontstyle0">Konstitusi dalam arti positif merupakan suatu keputusan politik tertinggi </span>dari rakyat atau orang yang tergabung dalam suatu organisasi yang disebut negara, sehingga mampu mengubah tatanan kehidupan kenegaraan. Secara etimologis kata konstitusi diartikan sebagai segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan. Dalam bahasa Indonesia, konstitusi dikenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar (UUD), meskipun keduanya tidak berarti sama. Undang-Undang Dasar hanyalah sebatas hukum dasar yang tertulis, sedang konstitusi, di samping memuat hukum dasar yang tertulis, juga mencakup hukum dasar yang tak tertulis. Konstitusi dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pemerintahan negara, lazimnya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum yang mengacu secara khusus dalam menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip-prinsip dasar politik, dasar hukum termasuk bentukan struktur, prosedur wewenang dan kewajiban pemerintahan pada umumnya. Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar. UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum tertinggi dari keseluruhan produk hukum di Indonesia. Produk-produk hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan presiden, dan lain-lainnya, bahkan setiap tindakan atau kebijakan pemerintah harus dilandasi dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang <span class="fontstyle0">Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.</span></p>2019-12-31T09:59:43+00:00##submission.copyrightStatement##https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/734TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN PIDANA MENURUT ADAT TOLAKI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DI DESA TIRAWUTA KECAMATAN PONDIDAHA KABUPATEN KONAWE2019-12-31T10:02:43+00:00Abdul Jabar Rahim suheri@pancabudi.ac.id<p><span class="fontstyle0">Penganiayaan merupakan peristiwa pidana yang dalam konsep KUHP mengatur dalam Pasal 351, di mana penganiayaan masuk kategori tindak pidan umum, sehingga pengaturan dan sanksi telah diatur oleh Undang-Undang. Setiap pelanggaran atau kejahatan rumusannya adalah sanksi pidana yang harus di terapkan pada pelanggaran serta kejahatan tersebut. kondisi ini, bahwa tindak pidana penganiayaan tidak<br>semestinya di selesaikan dengan konsep penerapan pidana, masih ada hal alternatif yang dapat menyelesaiakn diluar dari pada peradilan pidana, seperti penyelesaian mediasi alternatif adat tolaki di Desa Tirawuta Kecamatan Pondidaha Kabupten Konawe. Dalam setiap penyelesaian tindak pidana, baik tindak pidana pencabulan, pencemaran nama baik, penghinaan, serta penganiayaan, melarikan anak. Kondisi ini bahwa penyelesaian adat lebih efektif dalam sistem penerapan sanksi di bandingkan dengan penerapan<br>pidana. Untuk itu, penulis tertarik mengkaji teoritis untuk melakukan penelitian di Desa Tirawuta Kecamatan Pondidaha Kabupten Konawe yaitu untuk mengetahui proses penyelesaian adat dalam tindak pidana pengeniayaan serta bagaiamana bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap korban penagniayaan. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa peroses penyelesaian adat dalam tindak pidana penganiayaan<br>adalah peletakan kalo sara, peranan pemerintah setempat, proses mosehe, serta pertanggungjawaban pelaku terhadap korban penganiayaan sebagai berikut pengaduan korban ke pihak kepolisian, proses awal mediasi, membentuk tim mediasi, musyawarah adat pertanggungjawaban.</span> </p>2019-12-31T10:02:43+00:00##submission.copyrightStatement##https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/735BATASAN PENELANTARAN RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF HUKUM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN HUKUM PERKAWINAN INDONESIA2019-12-31T10:09:18+00:00Andrie Irawan suheri@pancabudi.ac.id<p><span class="fontstyle0">Masih banyaknya perbedaan pendapat tentang tindak pidana penelantaran rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga hal ini berakibat banyak korban yang ragu dan kebingungan ketika korban bermaksud melaporkan terjadinya tindak pidana tersebut. Tulisan ini akan berusaha untuk mengurai batasan-batasan penelantaran rumah tangga dari perspektif hukum kekerasan dalam rumah tangga dan hukum perkawinan di Indonesia, selain itu patut dipahami juga tindak pidana KDRT adalah penerapan hukum yang lex specialis sehingga penanganannya juga harus khusus serta patut juga diingat bahwa pelaku maupun korban dapat dilakukan oleh suami ataupun istri jadi tidak hanya sebatas satu pihak saja, karena batasan sudah jelas bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi dalam lingkup rumah tangga atau perkawinan yang sah sesuai hukum agama dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Kesimpulan dari tulisan ini secara garis besar Penelataran rumah tangga dalam UU PKDRT merupakan bentuk kekerasan ekonomi yang batasan selain pemenuhan unsur sebagaiaman yang dimaksud dalam Pasal 9 Jo. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang<br>Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, tetapi juga harus mensyaratkan timbulnya akibat dari perbuatan menelantarkan tersebut yakni adanya korban yang tergantung secara ekonomi kepada pelaku dan berakibat korban menjadi “terlantar”.</span> </p>2019-12-31T10:09:17+00:00##submission.copyrightStatement##https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/736PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP PEMBANGUNAN HUKUM DAN TANTANGANNYA DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.02019-12-31T10:11:32+00:00Supriyono suheri@pancabudi.ac.id<p><span class="fontstyle0">Globalisasi bukanlah sesuatu yang baru, semangat pencerahan eropa di abad pertengahan yang mendorong pencarian dunia baru dapat dikategorikan sebagai arus globalisasi. Revolusi industri dan transportasi di abad XVIII juga menjadi pendorong globalisasi, yang membedakannya dengan arus globalisasi yang terjadi pada dekade terakhir ini adalah kecepatan dan jangkauannya. Kemudian interaksi dan transaksi antara individu dan negara-negara yang berbeda juga akan menghasilkan konsekuensi politik, sosial, dan budaya pada tingkat dan intensitas yang berbeda. Masyarakat modern (modern society) hidup dalam era teknologi informasi (information technology) atau disebut juga dengan informative society yang saat ini populer disebut dengan “disruptive era“ atau era revolusi industri 4.0. Artinya, dunia global telah menempatkan kehidupan manusia berada di tengah-tengah arus teknologi yang begitu cepat perkembangannya dan sekaligus menjadi ancaman bagi manusia. Kemajuan dalam bidang teknologi (informasi) merupakan hasil karya intelektual manusia yang telah banyak membawa perubahan luar biasa dalam pola hidup manusia dewasa ini. Masuknya Indonesia dalam proses globalisasi pada saat ini ditandai oleh serangkaian kebijakan yang diarahkan untuk membuka ekonomi domestik dalam rangka memperluas dan memperdalam integrasi dengan pasar dunia. Lembaga hukum merupakan salah satu di antara lembaga-lembaga atau pranata-pranata sosial yang ada, seperti halnya lembaga/pranata keluarga, agama, ekonomi, dan lain sebagainya. Hukum bagaimanapun sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspeknya, baik dalam kehidupan sosial, politik, budaya, pendidikan, termasuk juga yang cukup penting adalah fungsinya atau peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi.</span> </p>2019-12-31T10:11:32+00:00##submission.copyrightStatement##https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/737FENOMENA KEJAHATAN KRIMINOLOGI BERDASARKAN CIRI PSIKIS & PSIKOLOGIS MANUSIA2019-12-31T10:14:44+00:00Linda Ikawati suheri@pancabudi.ac.id<p><span class="fontstyle0">Meningkatnya tindak kejahatan di Indonesia ini menjadi suatu keprihatinan tersendiri, dimana banyak sekali jenis tindak kejahatan seperti pembunuhan, penipuan,kekerasan seksual ,dan masih banyak lagi bentuk tindak kejahatan lainya. Ini disebabkan pola kehidupan masyarakat sosial yang terus menerus mengalami<br>perkembangan dan peningkatan disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan – perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari suatu zaman waktu atau zaman tertentu dengan zaman waktu atau zaman tertentu lainnya sehingga terdapat berbagai bentuk tindak kejahatan dan penyimpangan juga turut serta mengalami perkembangan dan peningkatan dalam melihat ,memahami permasalahan – permasalahan yang ada di masyarakat. Akan tetapi hal ini dapat diketahui untuk ciri – ciri dari setiap pelaku yang melakukan tindak kejahatan apabila kita bisa mengamati dan mengetahui teoriteorinya. Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak kejahatan ada berbagai macam contohnya saja yang sudah menjadi umum adalah masalah ekonomi,<br>ini sudah sangat mendasar sekali dan tidak bisa kita hindari lagi. Adapun untuk permasalahan lainya seperti perilaku disebabkan dari alam ,faktor yang lain disebabkan oleh pengaruh lingkungan atau proses belajar dan faktor yang lainya disebabkan interaksi manusia dan lingkungan. Dari banyaknya tindak kejahatan yang<br>ada tentunya mengundang reaksi masyarakat dalam menanggapi kejahatan – kejahatan yang terjadi. Ada yang menanggapi secara positif dan banyak juga yang menanggapi secara negatif. Reaksi Positif antara lain berupa pujian, hadiah atau penghargaan yang ditujukan pada perbuatan seseorang yang memenuhi tuntutan masyarakat. Reaksi negatif, dapat berupa cacian maupun penghinaan yang ditujukan pada perbuatan yang tercela atau tidak diinginkan oleh masyarakat karena sifatnya yang dapat menimbulkan<br>kerugianataupun kebencian terhadap kepentingan masyarakat itu sendiri. Pencegahan terhadap tindak kejahatan perlu diakukan dengan sangat serius demi menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam menjalani kehidupan.</span></p>2019-12-31T10:14:44+00:00##submission.copyrightStatement##https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/738KOMPETENSI KUASA HUKUM PELAPOR DALAM PERADILAN KASUS PIDANA2019-12-31T10:17:10+00:00Mospa Darma suheri@pancabudi.ac.id<p><span class="fontstyle0">Indonesia sebagai Negara hukum yang secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejahwantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau<br>pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik 19 profesi dan peraturan perundangundangan. Artinya bahwa di dalam melindungi dan membela klien menghadapi suatu perkara, advokat secara bebas memberikan dan mengeluarkan pendapat demi kepentingan kliennya tersebut, namun dalam pemberian pembelaan dengan pernyataan yang bebas tersebut tetap setiap advokat harus berpedoman dan berbataskan pada norma atau kode etik yang berlaku di dalam profesi advokat. Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. Di dalam menjalankan tanggung jawab profesi advokat di persidangan, setiap advokat memang tidak bisa dilakukan tindakan hukum terhadapnya, artinya bahwa setiap advokat ketika memberikan jasa maupun bantuan hukum kepada kliennya memang tidak bisa diberikan sanksi hukum baik perdata maupun pidana sepanjang hal yang diberikan dan ditunjukkan untuk kepentingan klien tersebut. Namun hak imunitas yang dimiliki oleh setiap advokat tersebut harus digunakan dengan baik dan tidak<br>boleh sesuka hati.</span> </p>2019-12-31T10:17:10+00:00##submission.copyrightStatement##https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/759KAJIAN HUKUM MODEL LITERASI MEDIA DALAM MENGANALISA INFORMASI BERITA PALSU (HOAX) PADA MEDIA SOSIAL2020-01-07T10:42:47+00:00Chairuni Nasution suheri@pancabudi.ac.id<p><span class="fontstyle0">Dewasa ini teknologi berkembang dengan sangat pesat khususnya di bidang telekomunikasi, seperti internet. Penggunaan internet pun berujung kepada sikap yang salah yaitu membuat dan menyebarkan berita palsu (hoax), melalui media sosial dengan bantuan jaringan internet, sementara berita bohong tersebut sangat bertentangan dengan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Ujaran kebencian (hate speech) mengiringi kebebasan berpendapat di media sosial. Sejak pilpres 2014, istilah hater pun dikenal luas yang menandai orangorang dengan kecenderungan membuat pesan ujaran kebencian pada orang atau kelompok tertentu. Kebhinnekaan sebagai pengikat sosial diuji karena kecenderungan praktik ujaran kebencian yang dipromosikan melalui media sosial. Kondisi diperparah oleh penyalahgunaan media sosial, seperti penyebaran berita bohong atau informasi palsu (hoax) yang dampaknya menimbulkan permusuhan dan tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang mengutamakan toleransi. Dalam rangka merespon berkembangnya ujaran kebencian, kajian ini mencoba untuk mengembangkan model literasi media dalam menganalisa informasi palsu (hoax) pada media sosial. Melalui pengembangan model kajian literasi media sebagai pendekatan yang memberdayakan penggunaan media sosial (netizen), maka diasumsikan para netizen akan lebih mampu mengkonstruksikan muatan yang positif dalam memanfaatkan media sosial.</span> </p>2020-01-07T10:42:47+00:00##submission.copyrightStatement##https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/760PERLINDUNGAN HUKUM ATAS EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL UPACARA ADAT DAN TATA RIAS PENGANTIN TAPANULI SELATAN/SIBOLGA DITINJAU DARI UNDANGUNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA2020-01-07T10:45:09+00:00Dina Andiza suheri@pancabudi.ac.id<p><span class="fontstyle0">Indonesia merupakan sebuah negara luas yang memiliki jumlah penduduk melebihi 200 juta dan keanekaragaman budaya yang muncul dari Sabang sampai Merauke. Keanekaragaman budaya tersebut memiliki aspek Hak Kekayaan Intelektual (HKI), yang memunculkan berbagai macam kreasi intelektual yang berada dalam ruang lingkup seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Adapun hasil kreasi intelektual tersebut ada yang secara umum dapat disebut dengan pengetahuan tradisional (traditional knowledge). Pengetahuan tradisional (traditional knowledge) adalah merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat selama turun temurun, yang meliputi tentang pengelolaan kekayaan hayati,seperti lagu, cerita,legenda, serta kesenian dan kebudayaan masyarakat lainnya. Penggunaan istilah pengetahuan tradisional (traditional knowledge) ini digunakan terhadap semua istilah yang masih termasuk dalam karya intelektual tradisional, baik dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan maupun karya intelektual dalam bidang industri. Dalam kaitannya dengan pengetahuan tradisional yang luas ini, ada istilah lain yang disebut sebagai tradisi budaya (folklore). Tapi sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, istilah tradisi budaya (folklore) ini menjadi ekspresi budaya tradisional. Salah satu bentuk ekspresi budaya tradisional yang terdapat di Sumatera Utara adalah upacara adat dan tata rias pengantin Tapanuli Selatan/Sibolga. Upacara adat dan tata rias pengantin di tiap daerah memiliki ciri khas yang berbeda yang ada di Indonesia. Sebagai salah satu ekspresi budaya tradisional, upacara adat dan tata rias pengantin merupakan suatu bentuk karya intelektual yang tumbuh dan berkembang dari dan dalam masyarakat komunal yang kemudian dalam pelestariannya dilakukan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Upacara adat dan tata rias pengantin Tapanuli Selatan/Sibolga merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang harus diberikan perlindungan hukum dalam bentuk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) guna melindungi warisan budaya bangsa. Pemerintah dalam hal ini harus dapat melindungi warisan budaya upacara adat dan tata rias pengantin Tapanuli Selatan/Sibolga melalui Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Upacara adat dan tata rias pengantin harus memiliki unsur keaslian (originality) supaya dapat didaftarkan melalui Hak Cipta dan yang tak kalah pentingnya adalah peran masyarakat adat untuk mendaftarkan warisan budaya ini melalui Direktorat Hak Kekayaan Intelektuan (DJKI) untuk mendapatkan perlindungan hukum.</span> </p>2020-01-07T10:45:08+00:00##submission.copyrightStatement##https://journal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/739EFEKTIFITAS EKSEKUSI PIDANA TAMBAHAN DENGAN PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM KASUS KORUPSI2020-01-07T11:09:18+00:00Ismaya Hera Wardanie suheri@pancabudi.ac.id<p><span class="fontstyle0">Penegakkan hukum terhadap kasus korupsi saat ini masih menimbulkan permasalahan, terutama dalam hal Jaksa ketika akan melaksanakan eksekusi mengenai pengembalian kerugian negara, seperti yang terlihat di dalam penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh I Putu Sudiartana yang telah di Vonis Hakim Pengadilan Negeri dengan Nomor Putusan 117/PidSus/2016/PN.Jkt.Pst. Hakim Pengadilan Negeri memutuskan, terdakwa I Putu Sudiartana telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Jenis penelitian yang dipakai adalah Yuridis Normatif yaitu teknik atau prosedur telaah dengan berpedoman pada beberapa asas hukum, kaidah kaidah hukum, maupun prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan substansi peraturan perundang undangan yang bersifat umum dan khusus. Sumber Data penelitian ini menggunakan sumber data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan atau masyarakat. Selain itu sumber data primer juga dapat berupa informasi dari pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan atau objek tentang analisis yuridis sosiologis terhadap pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang dapat diperoleh dari berbagai aspek pendukung lainnya yaitu informan. Sumber data sekunder yaitu dokumen dan literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini studi pustaka dan wawancara. Teknik Analisis data yang digunakan adalah teknik analisa model interaktif. Pengembalian uang negara melalui pidana pembayaran uang pengganti dalam kasus korupsi mengalami kendala dalam pelaksanaannya, Pelaku tindak pidana korupsi biasanya telah menempatkan dana yang dihasilkan dari korupsi ke dalam sebuah system keuangan, selain itu pelaku juga telah memisahkan hartanya melalui beberapa transaksi serta telah menggabungkan hasil korupsi dalam kegiatan bisnis yang legal. Hal ini mempersulit kejaksaan dalam pelacakan asset pelaku</span><span class="fontstyle2">.</span> </p>2019-12-31T00:00:00+00:00##submission.copyrightStatement##